Hardiknas Sebuah Refleksi Evaluasi Potret Pendidikan
Oleh: Nelson Sihaloho
Tepat pada tanggal 2 Mei 2010 usia pendidikan Indonesia genap berusia 102 tahun, merupakan proses perjalanan panjang suatu bangsa dalam mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkelanjutan dalam mengisi pembangunan. Ditengah era persaingan global yang semakin kompetitif bangsa Indonesia terus dihadapkan pada rendahnya mutu dan kualitas sumber daya manusia apabila dibandingkan dengan Negara-negara asing.
Berbagai program terus digulirkan mulai dari anggaran biaya pendidikan harus memenuhi 20 persen dari APBN, standar nasional pendidikan (SNP), pendidikan gratis, sertifikasi guru dalam jabatan, kualifikasi pendidik wajib S1 hingga program wajib belajar 12 tahun. Selain itu setiap penyelelenggara pendidikan pada saat ini wajib memenuhi berbagai standar penilaian sepertiu meraih ISO dari badan Akreditasi Nasional (BAN) maupun lembaga lainnya sehingga keberadaan suatu lembaga pendidikan benar-benar mampu menghasilkan mutu lulusan yang teruji kompetensi SDM-nya.
Ditengah semakin maraknya sistem penyelenggaraan sertifikasi guru dalam jabatan sehingga guru yang telah lulus sertifikasi dalam jabatan benar-benar diakui profesinya dan berhak mendapatkan tunjangan profesi satu kali dari gaji pokok.
Pengakuan terhadap profesi guru melalui program sertifikasi guru semakin menambah permasalahan baru dalam dunia pendidikan kita. Selain belum optimalnya anggaran untuk membayar dan tunjangan sertifikasi guru yang sering telat itu dilapangan justeru semakin banyak terjadi penyimpangan terhadap pelaksanaan tugas-tugas pokok dan fungsi guru yang mempersyaratkan jam tatap muka wajib 24 jam per minggu.
Dari sisi jam pegawai negeri sipil (PNS) sebenarnya 24 jam tatap muka per minggu itu bila dihitung secara objektif hanya 960 menit ( 16 jam). Sebab dalam jam mengajar guru tiap satu jam mata pelajaran hanya dihargai 40 menit. Bandingkan dengan jam kerja PNS minimal 37 jam per minggu. Meskipun persyaratan jam tatap muka guru 24 jam per minggu sebagaimana dipersyaratkan oelh pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) diduga banyak guru yang mengeluh atas tingginya beban kerja tersebut.
Padahal kenyataan dan fakta dilapangan diduga masih banyak oknum guru yang telah lulus sertifikasi dalam jabatan tidak menjalankan tugas pokok fungsinya dengan baik, khususnya dalam memenuhi jam tatap muka, tidak dispilin, kinerjanya tidak meningkat, mendapatkan tunjangan fungsional hingga tanda lulus sertifikasi dalam jabatan yang telah melekat pada dirinya kinerjanya tidak jauh berbeda dengan guru yang belum lulus sertifikasi.
Potret-potret kesenjangan penyelenggaraan pendidikan di perkotaan dengan di pedesaan dimana dikawasan perkotaan program internetnisasi begitu menjamur sedangkan di kawasan pedesaan jaringan listrikpun masih minim. Standarisasi gedung masih belum sinkron sebab dilapangan sekolah yang sudah pada fase RSBI diduga ada gedungnya telah berusia lebih dari 30 tahun namun belum dilakukan pembongkaran dengan membangun gedung yang baru.
Dari sisi safety (keamanan) apabila ada gedung yang telah melampaui usia rencana gedung akan membawa akibat kekurangnyamanan dalam penyelenggaraan pendidikan. Kembali kepada fakta sejarah, Hari Pendidikan Nasional yang dipelopori Ki Hajar Dewantara (HOS Cokroaminoto) yang dikenal dengan “Tiga Serangkai” merupakan suatu momentum bahwa kesejajaran, kesetaraan akan hak setiap warga Negara untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran.
Keteladanan dari filosofi Tiga Serangkai Ki Hajar Dewantara (HOS Cokroaminoto) hingga kini yang terus melekat adalah “Tut Wuri Handayani” yang dilambangkan dengan “ikon pendidikan” dimana dulunya perguruan “Taman Siswa” merupakan garda paling terdepan dalam menciptakan manusia-manusia Indonesia yang cerdas. Dulunya “Taman Siswa” dikenal dengan gudangnya siswa-siswa berprestasi bahkan menjadi candra dimuka sistem pendidikan di tanah air.
Belakangan nama “Taman Siswa” kian redup seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi yang tergerus dan terlindas dengan semakin bergeseranya pola penyelenggaraan sistem pendidikan yang mengacu pada pelayanan bermutu.
Bila diulas, dikaji dan dianalisis begitu kompleksnya sistem yang melilit dunia pendidikan, namun pemimpin di negeri ini seakan-akan tidak peduli dengan sejarah pendidikan di negeri ini. Jarang suatu pemimpin melakukan refleksi atas perjalanan pendidikan di negeri ini bahkan lebih mengutamakan mengirimkan mahasiswa-mahasiswa S2 dan S3 ke luar negeri meskipun menyedot anggaran yang tidak sedikit.
Setiap akhir tahun pelajaran Ujian Nasional selalu dianggap momok yang menakutkan. Ketidalulusan selalu dianggap kegagalan dari sebuah perjuangan selama menempuh pendidikan.
Sekelumit persoalan pendidikan sebagaimana diuraikan diatas perlu kita renungkan kembali dengan hati nurani yang paling mendalam telah sejauh mana perjalanan pendidikan di negeri ini kontribusinya terhadap pembangunan bangsa khususnya menjadi bangsa yang berbudaya tinggi dan bermartabat.
Menumbuhkan Komitmen
Selama perjalanan bangsa ini “Bhineka Tunggal Ika” selalu diajarkan di sekolah-sekolah hingga pejabat-pejabat, pemimpin-pemimpin tahu dengan julukan itu. Namun pada praktiknya ibarat suatu pola manajemen sumber daya manusia (MSDM) kecenderungan oknum pemimpin dan pejabat untuk melakukan penyimpangan justeru selalu terjadi. Mengapa hal demikian itu terus berlanjut hingga kini?
Segudang alasan yang mungkin timbul dibenak kita bahwa pola manajemen sumber daya manusia di Indonesia apabila direfleksikan kembali dengan sistem pendidikan riil yang mengacu pada kebenara fakta-fakta ilmu pengetahuan jelas bertolak belakang.
Itulah sebabnya banyak kalangan mempertanyakan penerapan MSDM itu pada sektor pendidikan karena hasil (output/outcome) bertolak belakang bahkan terus terjadi penyimpangan. Apabila berbicara masalah manajemen tentu kita akan mengetahui bagaimana menggerakkan roda organisasi baik itu staffing, controlling, budgeting maupun mencapai tujuan (goals) adalah menghasilkan uang (profit/benefit).
Penyimpangan-penyimpangan dalam MSDM itulah yang diduga terus merontokkan bahkan menggerogoti sistem penyelenggaraan Negara, perusahaan Negara, swasta sehingga praktik korupsi tumbuh subur di negeri ini.
Didalam pendidikan apabila komitmen MSDM ditumbuhkembangkan, mengakar dan mebudaya jarang akan melenceng dari fakta-fakta kebenaran. Menumbuhkembangkan komitmen dalam menjunjung integritas dan kejujuran dalam MSDM akan membawa kemajuan yang luar biasa terhadap pembangunan watak, karakter suatu bangsa.
Bangsa Jepang salah satu bangsa yang paling inovatif di dunia memiliki komitmen yang tinggi dalam bidang MSDM. MSDM dinegara Jepang jarang disalahgunakan atau dilakukan penyimpangan karena menyangkut jati diri, moral, harkat dan martabat. Bagaimana dengan komitmen bangsa Indonesia untuk menjadikan Negara Indonesia sebagai Negara paling teruji komitmennya dalam MSDM yang bermutu?.
Karena itu melalui refleksi hari pendidikan nasional tahun 2010 kita kembali melakukan evaluasi dan penilaian dengan objektif untuk mengedepankan prinsip-prinsip kejujuran dalam pembangunan sistem pendidikan yang berbudi pekerti luhur, bermoral, berbudaya serta bermartabat.
Semua nilai-nilai dalam Kebhineka Tunggal Ika itu harus menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang memiliki kekuatan luar biasa dalam mengemban visi dan misi pendidikan dalam percaturan dunia yang semakin kompetitif.
Generasi-generasi muda dan masa depan harus menjadi pelopor dan pembaharu-pembaharu sistem pendidikan di negeri ini yang berbasis Kebhineka Tunggal Ika yang tangguh, kokoh dan berkomitmen tinggi.
Kearfian budaya lokal apabila dilakukan improvasi dan inovasi secara terus menerus akan menghasilkan sebuah keunggulan. Sebab proses perjalanan bangsa ini tidak bisa dipisahkan dari ideology, social budaya, karakter maupun kultur.
Human development berbasis ideology, social budaya, karakter maupun kultur apabila dipadukan akan membawa pencerahan pada semangat kejuangan yang tinggi dalam pendidikan maupun spiritual. Bangsa ini harus terus berimprovasi dan berinovasi dengan tetap mengedepankan ideology, social budaya, karakter maupun kultur dalam mengarungi era persaingan global.
Pendidikan Masa Depan
Sektor pendidikan dimasa depan akan terus berkembang menuju suatu tatanan dunia baru. Tatanan dunia baru yang merupakan perkembangan dari dasar ilmu pengetahuan akan terus dikembangkan secara dinamis. Pendidikan dimasa depan akan memunculkan ketramplian baru era teknologi yang semakin tinggi. Dibutuhkan suatu kecerdasan emosionil (ESQ) untuk menghadapi era globalisasi dengan menempatkan kecerdasan emosi secara tepat.
Ihwal ESQ inilah yang terus dikembangkan oleh Negara-negara maju dalam menyiasasti tingkat perkembangan produk-produk unggulan berbasis teknologi tinggi. Meskipun seseorang memiliki kecerdasan (IQ) yang tinggi apabila tidak mampu menempatkan kecerdasan emosinilnya (ESQ) dengan tepat akan mengalami hambatan dalam perkembangannya. Apakah ia seorang pemimpin jika tidak mampu menempatkan kecerdasan emosionilnya (ESQ) dengan tepat akan mengalami kegagalan dalam memimpin.
Banyak teori-teori mutakhir dalam bidang ilmu pengetahuan dibidang peningkatan kecerdasan (IQ) dan (ESQ) sebenarnya diadopsi dari ilmu kedokteran dan psikologi itu akhirnya direkruitmen oleh para pelaku industri, teknologi dan bisnis. Manusia-manusia yang cerdas itu terus dimanfaatkan untuk mengejar prestise para pemimpin, kalangan pengusaha yang sebenarnya merupakan produk hasil output/outcome pendidikan.
Mengapa justeru SDM-SDM yang bermutu itu dan terus mampu meningkatkan laba perusahaan BUMN, swasta maupun sektor lainnya seakan lupa dengan sektor pendidikan dinegeri ini. Ihwal ini jugalah yang terus menjadi sorotan dunia pendidikan bahwa SDM-SDM yang bermutu tinggi yang telah bekerja menjadi Presiden, Menteri, Direktur Utama BUMN, Perusahaan Swasta Multi Nasional dengan gaji yang tinggi justeru gaji guru-guru di negeri ini jauh dari cukup bahkan tingkat kesejahteraan guru sangat rendah.
Penghargaan terhadap guru di negeri ini memang berbeda dengan di Negara-negara maju. Selain itu semakin banyak terjadi penyimpangan pada sektor pendidikan kita. Meskipun anggaran telah memenuhi kuota 20 persen dari anggaran APBN belum memiliki relevansi dengan peningkatan kesejahteraan guru termasuk peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di negeri ini.
Pendidikan di masa depan juga akan semakin menyedot anggaran yang lebih besar, bahkan tidak jarang menimbulkan persoalan baru. Mengacu pada hal itu SDM yang kompetetif, profesionalisme, keunggulan serta memiliki daya saing globallah yang tetap akan memenangkan persaingan di masa depan. Bangsa ini harus mampu menunjukkan daya saing globalnya melalui pengelolaan manajemen pendidikan bermutu tinggi. Keunggulan SDM suatu bangsa dapat diukur dari tingginya mutu SDM yang diciptakan melalui sistem pendidikan berbasis keungulan.
Penutup
Dari uraian dan paparan sebagaimana diungkapkan diatas maka diperoleh sekelumit kesimpulan bahwa sektor pendidikan kita masih memerlukan sinkronisasi, sinerginisasi, formulasi, akselarasi serta harmonisasi dengan mengedepankan sistem pendidikan berbasis keunggulan. Sebuah refleksi perjalanan pendidikan apabila kita evaluasi sera riil akan semakin banyak ditemukan betapa rendahnya perhatian para pemimpin, usahawan, konglomerat, bankir-bankir andal serta institusi lainnya yang melupakan jasa pendidikan yang telah menghantarkan mereka menjadi manusia-manusia yang sukses dalam meniti karir yang mereka geluti. Semoga dimasa mendatang manusia-manusia yang sukses semakin menunjukkan perhatiannya terhadap dunia pendidikan kita. Semoga. (***).
=============== EDITORIAL====================
KKN dan Konspirasi Tingkat Tinggi
Kolusi, korupsi dan Nepotisme (KKN) merupakan penyakit lama dinegeri ini yang pemberantasannya sangat sulit dilakukan sepanjang manajemen sumber daya manusia (MSDM) tidak diterapkan sesuai dengan kaidah-kaidah kebenaran. Fakta-fakta menunjukkan semakin banyaknya kasus-kasus hukum “mengendap” karena diduga dilakukan pembiaran konspirasi tingkat tinggi oleh oknum-oknum yang memiliki kepentingan dan kedekatan terhadap kekuasaan.
MSDM di Indonesia diduga dalam pelaksanaannya semakin menyimpang hal itu terlihat dari praktiknya dilapangan. Ketika oknum pejabat terusik karena kinerja proyek yang tidak sesuai dengan pelaksanaan maka konspirasi tingkat tinggi untuk mengaburkan fakta yang sesungguhnya terus dilakukan oleh para oknum-oknum yang terkait dalam sistem pelaksanaan manajemen proyek khususnya di pemerintahan.
Meskipun sudah banyak laporan yang masuk dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat, media, elemen masyarakat lainnya terhadap ternjadinya dugaan penyimpangan pada suatu instansi justeru penegakan hukum tidak berbanding lurus dengan penegakan supremasi hokum. Banyak kalangan mengatakan bahwa bangsa ini masih “dijajah” oleh Belanda karena produk hukum yang digunakan menjerat para koruptor di negeri ini masih produk-produk hukum zaman Belanda.
Bila dikaitkan dengan kondisi dan fakta riil bentuk penyimpangan-penyimpangan dana proyek, bestek, petunjuk tekhnis, spesifikasi barang dan lain-lain yang termasuk menjadi acuan dalam pelaksanaan proyek jelas produk hukum pidana (KUHP) dan perdata (KUHAP) zaman Belanda itu tidak sesuai perkembangan teknologi maupun bentuk penyimpangan-penyimpangan yang terjadi sekarang ini.
Salah satu contoh dugaan kasus di Provinsi Jambi adalah Proyek di Dinas Peternakan dan Kesehatan Provinsi Jambi yaitu proyek pengadaan sapi tahun anggaran 2009. Menurut informasi yang dihimpun dari berbagai sumber kasusnya diduga terindikasi KKN bakal diproses Kejaksaan Tinggi Jambi. Para rekanan sebagai penyedia jasa juga akan diperiksa. Meskipun santer di demo oleh LSM dan terus diberitakan media hingga detik ini belum ada tersangkan. Ada apa sebenarnya dibalik semua itu? Apakah memang karena ada dugaan “permainan konspirasi tingkat tinggi” sehingga kasusnya menjadi mandeg? Jika memang ada dugaan “permainan konspirasi tingkat tinggi” dengan siapa para oknum kepala dinas, pimpinan pelaksana teknis kegiatan (PPTK), rekanan melakukan hubungan dan lobby-lobby dengan oknum yang bisa diajak berkolusi tersebut.
Bila memang hal demikian terus terjadi akan menjadi preseden buruk bagi penegakan supremasi hukum dinegeri ini. Untuk apa lembaga-lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK dan Tipikor jika memang berujung pada proses pembiaran. Membentuk lembaga itu saja sudah menyedot anggaran ditambah dengan anggaran untuk menggaji aparatur-aparaturnya bahkan mendapat persetujuan dari dewan perwakilan rakyat (DPR).
Bila memang KKN bisa disandingkan dengan Manajemen Sumber Daya Manusia Aparatur Pemerintah (MSDMAP) yang mampu menyuburkan praktik KKN tidak ada salahnya bangsa ini melebarkan sayapnya ke Negara lain untuk mempraktekkan MSDMAP berbasis KKN sehingga bangsa ini bertambah makmur karena membudayakan KKN.
Karena itu banyak kalangan mengharapkan siapapun oknum yang dipercaya menjadi pengelola anggaran harus menerapkan prinsip-prinsip transparansi, mengapa kita mesti malu mengungkapkan kinerja rekanan. Kita dipercaya menjadi peneglola anggaran bukan untuk melakukan praktik korupsi tetapi bekerja dengan baik melayani masyarakat. Aparatur pemerintah tugasnya memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat bukan malah menyuburkan praktik korupsi.
Semoga saja kasus yang melilit Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jambi itu menemukan titik terang, siapa yang melakukan penyimpangan harus bertanggung jawab, kalau kita tidak salah untuk apa takut dikontrol oleh rakyat, LSM maupun media? Semakin kita dikontrol seharusnya kita berterimakasih kepada lembaga pengontrol karena mereka tidak mau citra kita buruk ditengah-tengah publik.
Untuk itu dimasa mendatang semoga saja semakin banyak Kepala Pemerintahan, Dinas yang merasa senang bila instansinya dikontrol/diawasi oleh orang lain. Bukan malah menuduh LSM, media dan elemen lainnya “Tukang Mencaricari Kesalahan” atapun menuding “Mencari-cari Kesalahan”. Jika itu yang terjadi berarti oknum pejabat pemerintah ataupun kepala dinas jiwanya tidak sehat. (****).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar