Selasa, 19 Oktober 2010

CPO Andalan Ekspor dan Perubahan Iklim

CPO Andalan Ekspor dan Perubahan Iklim
Oleh : Nelson Sihaloho
Abstrak:
Pengapalan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/ CPO) pada tahun 2010 diprediksikan meningkat seiring dengan peningkatan permintaan pasar dunia.  Indonesia berpotensi menguasai 50 persen pasar minyak sawit dunia disusul  Malaysia diproyeksi turun dibandingkan dengan realisasi 2009. Produksi 2010 yang diperkirakan meningkat mencapai 23 juta ton.
Dengan perkiraan itu Indonesia berpeluang memasok kebutuhan CPO dunia akan naik 5,5 juta ton, terdiri dari peningkatan kebutuhan pangan 4 juta ton dan permintaan untuk biodiesel minimal 1,5 juta ton. Meski berada di tengah krisis, kinerja ekspor CPO diperkirakan masih bertumbuh 7 persen hingga 10 persen.
Ekspor andalan Indonesia  yang memiliki pangsa pasar yang cukup bagus dipasarandunia internasional adalah kakao diprediksikan meningkat persen dan karet diprediksikan meningkat dari 2,1 juta ton menjadi 2,3 juta ton pada tahun 2010.


Berdasarkan data dari berbagai sumber mengungkapkan bahwa Provinsi Jambi disebut-sebut sebagai propinsi yang paling ekspansif dalam  mengembangkan perkebunan sawit di Sumatera. Pengembangan sawit sejuta hektar memang telah  digulirkan Zulkifli NUrdin sejak periode pertama menjabat Gubernur Jambi dan tugasnya akan berakhir Agustus 2010. Dengan luas wilayah 5,4 juta hektar berarti sekitar  20 persne wilayah Jambi akan berubah menjadi perkebunan sawit.
Rencana itu selalu dibayang-bayangi oleh resiko yang cukup pelik dan diakui oelh banyak kalangan akan selalu terjadi tekanan lingkungan yang tinggi dalam pengembangan sawit karena dilakukannya konversi hutan, bahkan rencana ini akan mendapat tentangan keras dari berbagai elemen.
Sebab hutan, menyimpan keanekaragaman hayati yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan ekosistem dimana  dengan hilangnya hutan menjadi perkebunan sawit dalam skala besar akan menurunkan keanekaragaman ekosistem. Memacu perkebunan sawit untuk kepentingan ekonomis yang sangat prospektif tetapi dengan konsekuensi yang harus dibayar mahal serta terjadinya  kerusakan ekologi yang sangat besar.
Bila kita melihat faka-fakta sejarah perkebunan sawit di Indonesia merupakan sejarah yang panjang. Tanaman khas ini dulunya didatangkan oleh Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stanford Raffles yang kini menjadi komoditas andalan Indonesia  khususnya wilayah Sumatera.
Pohon asal Afrika Selatan itu dibawa ke Kebun Raya Bogor pada  tahun 1848. Pohon palma  ini dikenal luas dengan nama kelapa sawit (Elaeis guineensis). Pada tahun 1911 di pantai timur Sumatera Utara dikembangkan kebun sawit pertama di Sumatera.
Selanjutnya sekitar tahun 1915 pengusaha asal Inggris telah mengusahakan perkebunan-perkebunan sawit berskala kecil dikawasan itu dengan membuka sebuah perkebunan sawit pertama  dengan luas 2.715 hektar.
Seiring dengan perjalananannya makin berkembang melebihi 100.000 hektar pada tahun 1939. Pada era tahun tersebut, kehebatan sawit Sumatera Utara telah mulai terdengar hingga ke manca negara, hingga banyak pengusaha asal Inggris yang datang ke Sumatera dan tertarik untuk membudidayakan sawit.  Pada tahun 1968 luasan kebun kelapa sawit semakin bertambah besar 119.600 hektar. Pada tahun 1978 luasan itu berkembang menjadi 250.116 hektar. Kemudian, sejak tahun 1979 hingga tahun 1997 laju pertambahan areal kelapa sawit mencapai rata-rata 150.000 hektar pertahun. Saat ini, total luas areal sawit di Indonesia telah jauh berkembang hingga lebih dari empat juta hektar.
Tingkat produksinya terus berkembang. Tahun 1979-1991 laju produksi rata-rata per tahun mencapai 230.000 ton. Periode tahun 1992 - 1997 meningkat hingga 420.000 ton per tahun dimana pada masa itu produksi sawit Indonesia mencapai lebih dari 5 juta ton per tahun.
Berdasarkan data dari berbagai sumber mengungkapkan bawa kualitas dan perdagangan produksi minyak sawit mentah yang diadakan di Kuala Lumpur tahun 1968, tercatat produksi minyak sawit mentah Indonesia baru mencapai 190.000 ton, sedangkan Malaysia telah mampu memproduksi sekitar 370.000 ton.
Tepatnya 33 tahun kemudian pada tahun 2001, produksi minyak sawit Malaysia melonjak drastis mencapai 11 juta ton, sedangkan Indonesia meningkat menjadi 8 juta ton lebih. Sekitar 5 juta ton dari produksi CPO Indonesia itu dilempar ke pasar ekspor  yaitu India, Cina, dan Thailand. Dari total produksi nasional yang mencapai 8 juta ton CPO itu, Sumatera memiliki kontribusi produksi lebih dari 6,9 juta ton CPO per tahun. Propinsi Sumatera Utara merupakan salah satu penghasil utama komoditi kelapa sawit dengan areal perkebunan di Sumatera Utara tahun 2002 dengan luas lebih dari 650 ribu hektar dengan total produksi mencapai 2,6 juta ton.

Prospek CPO

Selama beberapa tahun terakhir konsumsi minyak nabati dunia mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan rata-rata 4.6 persen per tahun. Konsumsi minyak nabati dunia pada tahun 1995 baru sekitar 92,4 juta ton, tahun 1997 mencapai 100,3 juta ton  dan pada tahun 2000 naik menjadi 113,8 juta ton dan pada tahun 2002 konsumsi dunia ini bahkan telah menginjak pada level angka 121,3 juta ton.
Dari 17 jenis minyak nabati yang ada ternyata  hanya didominasi 4 jenis yaitu minyak kedelai,  sawit,  lobak dan minyak bunga matahari.
Kini banyak muncul kawasan-kawasan perkebunan kelapa sawit, baik di Kalimantan, Sulawesi, Sumut, Riau, Jambi, Sumatra Selatan maupun kawasan lainnya.
Iindustri CPO Indonesia berkembang sangat pesat dengan  total  produksi CPO pada tahun 2008 mencapai lebih 17,73 juta ton. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai penghasil CPO nomor 1 di dunia mengalahkan Malaysia yang sebelumnya menduduki posisi pertama.
Selain menciptakan lapangan kerja yang sangat luas, industri ini menghasilkan salah satu komoditas yang menjadi andalan Indonesia dalam bertahan di krisis global. Bahan baku CPO berupa TBS yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit dengan luas lahan perkebunan pada akhir tahun 2008 mencapai 6,78 juta hektar dan diperkirakan mencapai 7,12 juta hektar akhir tahun 2009.
Pelaku  pada industri ini terdiri dari perusahaan-perusahan swasta besar (korporasi), perusahaan milik negara, dan rakyat (melalui perkebunan rakyat).
Industri kelapa sawit di Indonesia memiliki sejarah sangat panjang. Sebagai gambaran, perkebunan kelapa sawit telah dikenal sejak zaman kolonial, sementara Pusat Pengembangan Kelapa Sawit (PPKS) di Medan sudah mulai melakukan penelitan dan pengembangan varietas bibit kelapa sawit unggul sejak tahun 1992. Meskipun telah lama dikenal di Indonesia, manajemen perkebunan kelapa masih tradisional dan belum banyak disentuh oleh teknologi, apalagi teknologi informasi.
Padahal dalam sektor perkebunan, manajemen kebun dan efisiensi sumber daya adalah kunci keberhasilan karena harga komoditas keluarannya sendiri akan ditentukan pasar, sehingga perusahaan yang efisien akan mampu menghasilkan margin yang memadai.
Pada era sekarang ini teknologi memiliki peran yang sanagat penting dengan visi yang jauh ke depan dan diharapkan mampu mengembangkan sebuah sistem informasi perkebunan yang modern.
Penerapan dan penegmbangan aplikasi enterprise yang mengintegrasikan seluruh proses bisnis mulai dari sisi operasional hingga sisi finansial menjadi satu kesatuan sistem, yang lazim dikenal dengan istilah ERP (Enterprise Resource Planning) yang disesuaikan khusus untuk industri perkebunan telah dikembangkan oleh PTPN 1- PTPN XIII.
Pilihan ini sangat strategis, karena negara-negara pengembang ERP utama, seperti Jerman dengan SAP-nya, umumnya tidak memiliki industri perkebunan seperti di Indonesia. Ada dua jenis  produk aplikasi enterprise yaitu e-Plantations (khusus untuk industri agro) dimana oleh beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit, karet, dan tebu di Indonesia serta ERPLN sebuah aplikasi enterprise (pengembangan lebih lanjut dari aplikasi BAAN yang sangat populer di dunia manufaktur seluruh dunia).
Adanya tekkhnologi ini akan menjadikan industry minyak kelapa sawit berupa CPO akan terus menjadi andalah perkebunan di Indonesia mengingat hasil akhir dari suatu produk perkebunan adalah berupa komoditi yang siap diolah menjadi produk konsumsi bermutu tinggi.

Perubahan Iklim

Munculnya ketidajelasan batasan antar-musim dalam kurun waktu belakangan ini merupakan salah satu  isyarat bahwa telah terjadinya perubahan iklim secara global (global climate change) yang harus dihadapi umat manusia.  Tatanan kehidupan semakin kacau, orang tidak lagi tahu secara pasti kapan musim tanam dimulai. Gangguan terhadap sistem penyediaan bahan pangan dunia (food supply) menjadi pertaruhan besar yang mengancam keberlanjutan sistem kehidupan masa mendatang.
Khusus untuk Indonesia, fenomena hujan di musim kemarau dan kekeringan ekstrim di musim penghujan sudah lazim dan mesti disikapi secara arif untuk dapat ditindaklanjuti dengan program aksi nyata melalui pemberdayaan yang berkelanjutan.
Aktivitas ekonomi secara langsung berkaitan dengan pemanfaatan radiasi matahari selama proses fotosintesis termasuk  agribisnis perkebunan harus melihat perubahan iklim secara konstruktif.
Tidak ada pilihan yang dapat dilakukan selain menyikapinya secara rasional, obyektif dan bertanggung jawab dengan memanfaatkan ketersediaan teknologi dan kapabilitas mengolah informasi berbasis sains untuk diaplikasikan ke dalam praktek budidaya secara benar.
Kedaulatan pangan Indonesia menjadi andalan sumber pendapatan negara dan mata pencaharian mayoritas penduduk yang berjalan secara simultan dengan keterbatasan lahan pertanian akibat industri dan pemekaran kota, makin banyaknya petani bermigrasi ke kota-kota besar bahkan semakin tidak kompetitifnya harga jual produk pertanian primer menyusul makin longgarnya arus masuk produk impor.
Selain penyesuaian masa tanam dan pilihan komoditas berikut varietas resisten terhadap kondisi tertentu yang diperkirakan seperti kemampuan menghadapi cekaman air (water stress), sejauh ini para petani hanya diminta mengaplikasikan biokompos untuk meningkatkan kelembaban tanah dengan pengertian sepotong agar tanaman tidak mudah layu saat kemarau ekstrim.
Kegagalan melakukan mitigasi dan menyiapkan petani dalam menghadapi perubahan iklim secara terstruktur berdampak langsung terhadap kinerja agribisnis perkebunan secara nasional.Masalah utamanya saat ini luas areal perkebunan rakyat tetap jauh lebih besar dibandingkan dengan  perkebunan milik BUMN/swasta meskipun yang disebut terakhir terus melakukan ekspansi secara besar-besaran.
Aktivitas mikroba tanah juga meningkat sehingga lebih banyak dihasilkan condioner alami yang dapat mengikat partikel-partikel tanah menjadi jauh lebih baik termasuk ketersediaan sejumlah unsur hara dari hasil dekomposisi dan mineralisasi yang sangat mendukung pertumbuhan tanaman. Ironisnya telah banyak kajian akademik dan hasil-hasil penenelitian terkini yang sebenarnya dapat ditransfer kepada petani agar lebih mampu merespons perkembangan.
Indonesia kini berpenduduk 230 juta dan harus mampu menjadi Negara surplus pangan dalam kondisi apapun. Pemerintah harus mampu membuat suatu kebijakan yang membuat para petani perkebunan senang dan loyal pada profesinya dan haus akan pengetahuan baru yang berkaitan langsung dengan peningkatan daya saing dan produksi secara berkesinambungan maupun desain baru. Petani juga harus memahami  pengelolaan sumber-daya hayati dan lingkungan (bio-management) termasuk bidang-bidang sains lainnya yang memungkinkan petani berpartisipasi aktif dalam gerakan penyelamatan bumi dari destruksi oleh perubahan iklim dan tatanan menuju peri-kehidupan sosial-ekonomi makin yang maju dan bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar